Review Singkat Beberapa Distro Linux yang Pernah Saya Coba
Ubuntu (dan turunannya)
Yang saya sukai dari Ubuntu :
- Dukungan perangkat keras, ketika menggunakan hardware mainstream saya tidak pernah mengalami masalah perangkat keras tidak dikenali oleh Ubuntu. Pemasangan dan konfigurasi driver perangkat kerasnya bagus.
- Dukungan perangkat lunak, hampir semua pengembang perangkat lunak populer menyediakan native package .deb untuk menginstall perangkat lunaknya di Ubuntu.
Yang saya tidak sukai dari Ubuntu :
- Snap, instalasi perangkat lunak menggunakan snap cukup lama (terasa kurang sat-set) dan menghabiskan storage yang besar.
- Ukuran file .iso meningkat secara signifikan sejak versi 24.04 yaitu menjadi 6 GB (Ubuntu standar, DE Gnome).
Debian
Yang saya sukai dari Debian :
- Dukungan perangkat lunak, hampir semua pengembang perangkat lunak populer menyediakan native package .deb untuk menginstall perangkat lunaknya di Debian. Jumlah package perangkat lunak yang tersedia di repository nya sangat banyak.
Yang saya tidak sukai dari Debian :
- Boring, relatif tidak ada gebrakan / inovasi baru karena program-program yang tersedia di Debian stable bukan versi yang terbaru. Sebenarnya ini bukan masalah karena memang Debian mengorbankan kebaruan demi stabilitas. Namun ini tidak cocok untuk pengguna yang berorientasi ke inovasi.
- Mulai Debian 12 penggunaan RAM meningkat bila dibandingkan Debian 11.
MX Linux
Yang saya sukai dari MX Linux :
- Dilengkapi dengan MX tools yang berguna untuk sejumlah task misalnya melakukan backup data dan membuat file .iso dari instalasi MX Linux yang ada.
- Punya segala kelebihan dari distro induknya yaitu Debian.
Yang saya tidak sukai dari MX Linux :
- Posisi panel MX Linux desktop Xfce di sebelah kiri layar tidak biasa bagi saya karena berbeda dengan Xfce default. Tapi bisa kita ubah sendiri sih.
- Theme tampilan Xfce bawaannya terasa kurang bagus.
Linux Mint
Yang saya sukai dari Linux Mint :
- Punya semua hal positif yang ada di Ubuntu
- Ada sejumlah aplikasi yang dibuat khusus untuk Linux Mint yang disebut sebagai XApps misalnya Pix, aplikasinya ringan dan tidak tergantung pada dependensi Gnome.
- Tidak ada snap.
Yang saya tidak sukai dari Linux Mint :
- Mulai versi 22 agak nambah konsumsi RAMnya.
- Linux Mint Xfce tampilan defaultnya bisa berubah kalau salah update.
Opensuse Tumbleweed
Yang saya sukai dari Opensuse Tumbleweed :
- Bleeding edge / rolling release distro, tidak perlu install ulang tiap upgrade versi dan mendapat aplikasi versi baru.
- Just work, instalasi defaultnya sudah sangat memenuhi kebutuhan, tidak perlu setting dan utak-atik konfigurasi tambahan secara manual.
- YasT, semua konfigurasi bisa dilakukan lewat GUI melalui program YasT yang sangat memudahkan bagi pengguna yang tidak mau repot buka terminal.
Yang saya tidak sukai dari Opensuse Tumbleweed :
- Update program tidak seseing rolling release distro lain seperti misalnya Archlinux. Namun ini bisa jadi kelebihan juga karena proses testing package lebih panjang, jaminan tidak terjadi crash lebih baik.
Fedora
Yang saya sukai dari Fedora :
- Dukungan RedHat membuat distro ini terasa profesional dan terstandarisasi. Menggunakan Fedora secara tidak langsung berasa seperti menggunakan distro RedHat, fitur-fiturnya diarahkan sebagai OS untuk server yang dipakai dalam bisnis sebuah perusahaan namun juga cocok dipakai sebagai OS desktop.
Yang saya tidak sukai dari Fedora :
- Sejumlah instalasi perangkat lunak yang berorientasi pada security misalnya SELinux, buat saya terasa bagaikan bloatware. Untuk penggunaan sebagai server memang SELinux dirasa perlu, namun untuk keperluan pribadi terasa SELinux malah bikin repot.
- Konsumsi RAM cukup banyak akibat sejumlah daemon yang otomatis dijalankan.
Archlinux
Yang saya sukai dari Archlinux :
- Wiki Archlinux sangat bagus dan lengkap. Tidak jarang pula masalah yang saya temui di distro lain dapat diselesaikan setelah saya membaca panduan di wiki Archlinux. Konten wikinya juga konsisten, apa yang ditulis kalau dipraktekkan lebih dari 90% berhasil.
- Proses download package saat instalasi perangkat lunak terasa cepat, menurut saya yang paling cepat di antara distro lain. Hal ini karena kompresi package yang bagus serta dukungan repository lokal Indonesia yang cukup banyak.
Yang saya tidak sukai dari Archlinux :
- Proses instalasi hingga setup agar OS siap digunakan cukup memakan waktu, tidak cocok buat pengguna yang mager.
- Rawan terjadi error pada OS ketika terjadi major upgrade pada software yang menjadi komponen penting, misalnya major upgrade desktop environment yang menggunakan library GUI baru memiliki potensi yang besar untuk membuat komponen lain pada OS tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Comments
Post a Comment