Ribut-Ribut Kuliah (S1) Pendidikan Tersier
Dari awalnya soal UKT mahal sampai akhirnya blunder pejabat kementerian yang menyebutkan kuliah sebagai pendidikan tersier. Kemudian hal ini banyak diterjemahkan sebagai kuliah bukan kebutuhan yang penting. Saya akan menuliskan pendapat, benarkan kuliah (S1) itu ga butuh-butuh banget?
Pemerintah sudah sejak lama menetapkan program wajib belajar, yang sebenarnya sudah menunjukkan concern pemerintah mengenai level pendidikan yang (seharusnya) wajib ditempuh warga negara. Sebelum era reformasi, wajib belajar ditetapkan 9 tahun yaitu SD (pendidikan dasar - 6 tahun) dan SMP (pendidikan menengah - 3 tahun). Kemudian saat ini wajib belajar sudah ditambah menjadi 12 tahun dengan tambahan jenjang SMA (pendidikan atas - 3 tahun). Warga negara yang telah tuntas wajib belajarnya diharapkan memiliki kompetensi dasar yang diperlukan untuk menjalankan perannya dalam masyarakat. Namun apakah itu sudah cukup?
Pendidikan yang ditempuh warga masyarakat memiliki konsekuensi yang sangat vital dalam perjalanan hidupnya, salah satunya adalah pekerjaan yang dapat dipilih. Kalau kita lihat sekarang, sebagian besar syarat lowongan kerja mensyaratkan pendidikan minimal S1 (sarjana). Masih ada lowongan kerja yang dapat dilamar dengan kualifikasi pendidikan SMA, namun jumlahnya tidak sebanyak lulusan S1. Nah dari sini mulai terlihat masalahnya. Sebenarnya apakah S1 itu sepenting itu?
Sebenarnya bukan masalah di S1 nya, hanya saja negara ini cukup salah kaprah memaknai filosofi S1. S1 sebenarnya adalah ranah pengembangan ilmu, bukan ditujukan untuk mencetak calon pekerja. Universitas yang menyelenggarakan pendidikan S1 diharapkan menjadi pusat penelitian yang mencetak cendekiawan dan publikasi riset yang berkontribusi keilmuan. Bukan berarti mengesampingkan keterampilan kerja, justru banyak gal bermanfaat yang dapat diambil untuk mengembangkan kompetensi bekerja di jenjang S1 namun sebenarnya kebutuhan minimal lulusan S1 di lowongan kerja itu diskriminatif dan salah kaprah.
Kebutuhan pekerja yang terampil sebenarnya merupakan ranah dari pendidikan vokasi. Jenis pendidikan ini fokusnya adalah pada skill yang mendukung keterampilan kerja pada bidang yang spesifik. Di Indonesia pendidikan vokasi sudah ada yaitu di jenjang SMK, sedangkan untuk pendidikan tinggi vokasi adalah jenjang diploma (D3 dan D4). Lulusan vokasi inilah yang sebenarnya diharapkan mengisi mayoritas kebutuhan pekerja terampil. Filosofi ini sebenarnya sudah cukup tertata baik pada periode pemerintahan sebelumnya, namun sayangnya saat ini tidak berlanjut.
Saya ingin menggaris bawahi, bukan masalah pendidikannya tersier atau wajib karena yang dibutuhkan agar negara ini maju adalah pemerataan akses pendidikan. Harus didorong semakin banyak warga negara yang dapat menempuh pendidikan tinggi dan setinggi-tingginya agar kualitas SDM tidak kalah dengan negara lain. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting, kualitas dan pengalaman yang didapat seseorang yang menyelesaikan wajib belajar 12 tahun tentu berbeda dengan orang yang menjadi lulusan S3 misalnya. Makin banyak lulusan pendidikan tinggi artinya makin banyak calon ahli terampil. Dokter, arsitek, perawat, guru, dosen misalnya memerlukan pendidikan di perguruan tinggi. Dan juga perlu dihentikan diskriminasi kepada orang yang tidak memiliki kualifikasi pendidikan S1, perkuat pendidikan vokasi untuk memenuhi kebutuhan pekerja dan arahkan S1 untuk pengembangan keilmuan.
Comments
Post a Comment