Opini: Dosen Killer dan Kesehatan Mental Mahasiswa
Belum lama ini saya menyimak ada pembahasan mengenai kesehatan mental mahasiswa, di mana salah satu muaranya adalah mengenai eksistensi dosen killer. Untuk mendukung terciptanya kondisi mental yang sehat dan mencegah kekerasan, UGM bahkan telah melarang adanya dosen killer di kampusnya namun bagaimana teknis pelaksanaannya saya belum mendapatkan informasinya.
Pengalaman dengan dosen killer
Saya yakin hampir semua mahasiswa (khususnya angkatan sepuh) pernah mengalami interaksi dengan dosen killer, setidaknya ada satu dosen yang "galak". Level killer bisa bervariasi, umumnya dosen tipe ini bisa dikategorikan "unik", berpegang teguh pada "prinsip", kaku, dan berada di "luar jangkauan" mahasiswanya. Pada level yang tinggi bahkan interaksi dengan dosen tersebut mampu meninggalkan bekas ingatan yang sulit dilupakan oleh mahasiswa.
Saya sendiri bisa dimasukkan kategori mahasiswa bermental medioker pada waktu itu, dosen yang mengajarnya tidak santai, tidak senyum, dan "keras" sudah saya masukkan ke kategori dosen killer ini. Selama S1 dulu, alhamdulillah tidak ada dosen prodi yang saya masukkan ke list ini, tapi beberapa dosen dari prodi lain sudah cukup menggetarkan hati saya dan tanpa ragu lagi saya masukkan ke list ini. Saya hanya akan bercerita tipis-tipis saja, kalau saya amati dosen tersebut seperti punya "dunia" dan "standarnya" sendiri dan memang agak susah bagi saya untuk dipaksa masuk ke cara berpikirnya karena 'kok sebegitunya". Ya begitulah, menurut saya seharusnya kita perlu melihat background story dosen tersebut kalau ingin memahaminya, kenapa sampai beliau memiliki pembawaan seperti itu.
Sejauh ini saya memilih main aman, tidak ingin terlihat terlalu menarik perhatian kalau berinteraksi dengan dosen tipe killer tersebut dan berinteraksi seperlunya saja.
Pengaruh dosen killer
Dari pengalaman saya, pengaruh dosen killer ini yang paling sederhana adalah adanya "ketakutan" ketika berinteraksi dengannya. Ya sebenarnya tidak selalu dosen tipe ini dalam mode killer, tapi ada kekhawatiran kalau mode killernya akan aktif akibat ter-trigger sesuatu dari yang kita sampaikan atau lakukan. Tingkatan selanjutnya adalah malas untuk berinteraksi, karena saya tidak ingin ada drama dan takut kalau kena semprot kalau ada hal yang menyebabkan beliau ter-trigger.
Alhamdulillah saya tidak mengalami gangguan mental akibat ketakutan terhadap dosen killer. Tapi mungkin mahasiswa lain mengalami hal yang berbeda. Bagaimana pengalaman pembaca menghadapi dosen killer? Silakan tulis di kolom komentar ya.
Apakah dosen killer masih relevan?
Saat ini saya menjadi dosen, saya amati dosen-dosen muda sangat jarang yang masuk kategori dosen killer. Zaman sudah berubah, karakteristik mahasiswa dan dosen juga sudah berbeda dari zaman dahulu. Tuntutan pengajaran di universitas juga sudah berubah, menurut saya memang sudah tidak cocok kalau dosen "kaku", dosen seharusnya bisa bekerja sama dengan mahasiswa untuk menghasilkan karya cipta yang unggul.
Namun ada kalanya saya merasa perlu ada "keseimbangan" antara santai dan tegas. Mahasiswa kalau terlalu dibebaskan akhirnya terlalu bebas, output pengajaran akhirnya hanya huruf dan angka. Dosen tidak perlu galak, namun harus konsisten dan tegas. Buat hal-hal yang perlu disepakati dengan mahasiswa dan jalankan kesepakatan dengan penuh tanggung jawab. Saya sendiri masih merasa belum dapat menjadi seideal visi ini.
Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan mental mahasiswa
Kembali ke topik kesehatan mental, menurut pengalaman saya sebenarnya masalah kesehatan mental mahasiswa ini cukup kompleks. Masalah ini tidak bisa selesai hanya dengan memandangnya sebagai urusan beban yang diberikan kampus / dosen dan kemampuan mahasiswa menerima beban tersebut. Mahasiswa juga memiliki kehidupan di luar kampus, ada kehidupan sosial dan pribadi mahasiswa yang juga mempegaruhi kondisi mental.
Lingkungan keluarga mahasiswa perlu untuk peduli dengan kondisi mental mahasiswa. Beberapa kali saya temui mahasiswa ada yang menghadapi tekanan di keluarga akibat tuntutan, misalnya untuk mencapai nilai yang sempurna. Ada pula mahasiswa yang mengalami kesedihan akibat perlakuan anggota keluarganya, atau karena masalah yang dihadapi orang tuanya yang kemudian menyebabkan mahasiswa kepikiran.
Selain lingkungan keluarga, ada pula pengaruh dari kehidupan pribadi mahasiswa misalnya masalah klasik percintaan. Sejak dahulu masalah ini selalu ada, misal yang paling sederhana adalah putus cinta yang menyebabkan mahasiswa kehilangan semangat. Sumber masalah lain bisa jadi dari lingkup pergaulan mahasiswa, sirkel pertemanan yang toksik juga berpotensi menganggu mental mahasiswa.
Kesimpulan
Adanya kesadaran untuk mengurangi perilaku killer dosen adalah sebuah kemajuan yang perlu untuk ditindaklanjuti. Namun perlu dicatat bahwa kalau dosen tidak killer bukan berarti masalah sudah selesai, mahasiswa tetap perlu dididik untuk disiplin. Selain itu perlu juga untuk melibatkan keluarga dan memperhatikan lingkup sosial mahasiswa. Mahasiswa sendiri perlu juga untuk menjaga kondisi psikologis yang baik, tidak memendam sendiri apabila mengalami masalah yang mengganggu ketenangan batin.
Comments
Post a Comment