Opini - Less Evil? Semua Akan Oportunis Pada Akhirnya

Mendekati pilpres 2024, salah satu jargon yang sering didengungkan untuk melawan pilihan golput adalah "pilih yang lebih sedikit mudhorotnya" atau istilah lain dalam bahasa Inggris "less evil". Menurut saya jargon tersebut tidak relevan dan tidak "nendang" untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Mengapa begitu? Sebaiknya kita tidak lupa, jargon tersebut sudah dimunculkan dan sering disebarkan pada pilpres periode sebelumnya.

Ada sosok yang memang nampak lebih sedikit kekurangannya, tidak membawa beban masa lalu, sosok yang populis dan dicintai kalangan umum. Setelah sekian tahun berlalu, sebenarnya ya belum jaminan juga jargon "less evil" itu tidak mengecewakan. Mungkin awalnya memang idealismenya bagus, namun ternyata di politik idealis saja tidak cukup, perlu kompromi-kompromi dengan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Akhirnya sering sekali dilakukan "bagi-bagi kue", simpatisan yang berperan menggalang dukungan ketika pilpres diberikan jabatan, sosok yang berpengaruh dalam kemenangan diberikan jabatan, ada yang sampai rangkap-rangkap jabatannya dan seolah itu adalah hal yang biasa. Dulu nampak sosok ini akan berbeda dari politisi lainnya, tidak mendukung dinasti politik namun akhirnya beliau pun oportunis juga. Lembaga anti korupsi yang diharapkan dapat memerangi korupsi kini juga dipertanyakan kredibilitasnya akibat ulah pimpinan dan undang-undang yang memberikan celah kepada oknum-oknum untuk mengakali aturan.

Memang mungkin salah karena politisi juga adalah manusia, berharap kepada sosok manusia tidak lain hanya akan menyebabkan kekecewaan. Jadi bagaimana? Sebaiknya masyarakat tidak bergantung pada sosok tertentu, namun masyarakat dan lembaga yang berwenang membentuk "sistem" yang "memaksa" hadirnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Contohnya saja pencalonan caleg, ya bekas narapidana boleh mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Sedangkan masyarakatnya sendiri kalau ngelamar kerja harus melampirkan SKCK. Itu contoh yang sederhana. Di lingkup yang lebih tinggi seharusnya ada aturan-aturan yang dibuat untuk menciptakan "good governance", misalnya bagaimana untuk memastikan yang mengisi posisi-posisi di pemerintahan itu terjamin profesionalitasnya. Ya masa' pejabat diambilkan dari simpatisan, tidak diperhitungkan kemampuannya. Perlu juga aturan bagaimana agar kekuasaan tidak berputar-putar di lingkup kalangan itu-itu saja.

Tapi memang politik itu mungkin bagi kebanyakan orang terlalu rumit dan sulit dijangkau, kekuasaan perlu power dan sokongan logistik. Tidak semua orang juga cocok untuk terjun ke politik. Akhirnya lewat curcol-curcol seperti inilah keresahan bisa diungkapkan, ini hanyalah uneg-uneg seorang masyarakat biasa yang prihatin.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Inheritance (Pewarisan) di Java

Review Singkat Pilihan Transportasi Umum Rute Solo - Wonosobo

Physical address dan Logical Address dalam Jaringan Komputer