Ironi MBKM di Perguruan Tinggi

MBKM atau Merdeka Belajar - Kampus Merdeka adalah kebijakan baru yang digaungkan Kemendikbud sebagai program unggulan untuk perguruan tinggi. MBKM memfasilitasi mahasiswa untuk berkegiatan di luar kampus, dan melalui kegiatannya tersebut mahasiswa mendapat pengakuan berupa SKS yang ditambahkan ke transkrip nilai mereka.

Menurut Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan pembelajaran dalam Kampus Merdeka memberikan tantangan dan kesempatan untuk pengembangan kreativitas, kapasitas, kepribadian, dan kebutuhan mahasiswa, serta mengembangkan kemandirian dalam mencari dan menemukan pengetahuan melalui kenyataan dan dinamika lapangan seperti persyaratan kemampuan, permasalahan riil, interaksi sosial, kolaborasi, manajemen diri, tuntutan kinerja, target dan pencapaiannya. Atau dengan kata lain kebijakan ini merupakan pengakuan pemerintah bahwa belajar tidak terbatas hanya di kampus saja, banyak sumber belajar yang dinamis dan dekat dengan permasalahan nyata yang ditemui di masyarakat atauoun dunia kerja sehingga diharapkan kualitas lulusan akan menjadi lebih baik dan lebih kompeten.

Kemendikbud menyatakan MBKM merupakan “hak belajar tiga semester di luar program studi” yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi lulusan, baik soft skills maupun hard skills, agar lebih siap dan relevan dengan kebutuhan zaman, menyiapkan lulusan sebagai pemimpin masa depan bangsa yang unggul dan berkepribadian. Di sini bisa digarisbawahi MBKM bukan merupakan kewajiban, namun merupakan hak dari mahasiswa. Terdengar sangat demokratis, sesuai dengan semangat kemerdakaan yang diusung dalam MBKM. Namun apakah realitanya memang seperti itu?

Di sini terdapat sebuah ironi, atau bisa juga saya sebut sebagai paradoks yang tidak sinkron antara semangat yang diusung dengan implementasi MBKM. Kegiatan MBKM sudah jelas dinyatakan sebagai hak, sehingga seharusnya terserah pada mahasiswa itu sendiri apakah dia akan menggunakan haknya atau tidak. Namun realita di lapangan, seolah MBKM ini mengarah menjadi sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh mahasiswa. Wah bagaimana bisa begitu?

Kemendikbud melalui Dirjen Dikti menetapkan adanya Indikator Kinerja Utama (IKU) Perguruan Tinggi Negeri yang dijadikan sebagai ukuran untuk menilai kualitas PTN. IKU inilah yang menurut saya tidak sinkron dengan semangat kemerdekaan yang diusung dalam program MBKM.  Ada delapan IKU yang ditetapkan pemerintah, IKU ke-2 berkaitan erat dengan kebijakan MBKM yaitu Kegiatan luar kampus. Pemerintah melalui Kemendikbud membuat kontrak dengan PTN yang isinya berupa target pencapaian IKU. Di Universitas X yang berlokasi di kota Y misalnya, ditetapkan target IKU-2 adalah 35% mahasiswa mengikuti kegiatan di luar kampus (MBKM 20 SKS dalam 1 semester). Target IKU ini dihitung setahun sekali. Saya tidak tahu apakah ada konsekuensi yang harus ditanggung PTN apabila target IKUnya tidak tercapai, namun di lapangan angka2 target tersebut seolah menjadi dewa yang harus dituruti entah bagaimana caranya.

Sungguh ironis, kegiatan MBKM seharusnya tidak bisa diberi target jumlah mahasiswa sekian persen yang mengambil karena MBKM adalah hak, sekali lagi hak. Bagaimana misalnya kalau mahasiswa tidak ingin mengambil MBKM? Apakah kampus harus memaksa mahasiswa? Saya tidak tahu apa yang ada di benak para pengambil kebijakan ketika menetapkan target angka IKU tersebut. Yang menjadi keheranan saya, target IKU-2 ini sudah ada pada tahun pertama pelaksanaan MBKM. Lebih anehnya, waktu itu MBKM baru berjalan 1 semester, di akhir semester sudah ditagih jumlah mahasiswa yang ikut MBKM per prodi harus mencapai angka tertentu. Apakah hal itu masuk akal? Mengingat kebijakan MBKM ini masih baru, bahkan universitas pun masih meraba-raba bagaimana teknis pelaksanaannya, hingga akhirnya prodi membuat prosedur MBKM yang masih banyak kekurangan di sana-sini. Tagihan angka jumlah mahasiswa yang mengikuti MBKM sungguh tidak relevan untuk tahun-tahun awal.

Saat ini pelaksanaan MBKM sudah memasuki akhir tahun pertama di Universitas X. Lagi-lagi tagihan angka jumlah mahasiswa yang mengikuti MBKM 20 SKS dalam 1 semester dihitung, dan ternyata di banyak prodi memang jumlahnya tidak sesuai dengan target angka yang sudah ditetapkan. Sangat sulit untuk memenuhi target angka yang ditetapkan karena memang hal tersebut tidak memungkinkan. Mendikbud Nadiem Makarim memiliki sudut pandang, kalau ada mahasiswa ambil kegiatan MBKM itu seharusnya langsung diberi rekognisi 20 SKS. Ini tidak masuk akal pak, karena menurut panduan kegiatan MBKM itu dikonversi ke mata kuliah yang ada di prodi. Tim rekognisi MBKM melihat konten dari kegiatan MBKMnya, sangat sering 1 kegiatan MBKM itu capaian pembelajarannya tidak mencakup banyak mata kuliah sehingga SKS yang didapatkan pun hanya sedikit tidak sampai 20 SKS. Mencapai rekognisi 20 SKS itu bukan tidak mungkin, bisa namun perlu lebih dari 1 kegiatan MBKM dengan minimal 2 semester. Saya belum tahu apakah antara pejabat di kementrian dengan pengelola prodi tidak duduk bersama untuk mendiskusikan hal ini sehingga perbedaan konsep dengan implementasi seperti ini bisa diminimalisir.

Saya tidak anti MBKM, namun mbok ya selow saja to, tidak perlu ada angka-angka yang membatasi misal harus 20 SKS dalam 1 semester lah, harus sekian persen mahasiswa yang ambil kegiatan MBKM lah dll. Yang lebih penting dari angka-angka target itu tentu saja ada, yaitu kualitas. Bagaimana menjamin pelaksanaan kegiatan MBKM ini menjadi berkualitas? Beban kerja dosen sangat tinggi, dengan kondisi tersebut bagaimana MBKM ini dapat diawasi dan dijamin mutunya itulah yang seharusnya dipikirkan. Para pembuat kebijakan di tingkat pusat seharusnya juga perlu mengetahui kendala-kendala yang dihadapi prodi di lapangan sehingga tidak asal menetapkan target angka.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Inheritance (Pewarisan) di Java

Review Singkat Pilihan Transportasi Umum Rute Solo - Wonosobo

Physical address dan Logical Address dalam Jaringan Komputer