Overthinking : Ribut-Ribut Pas Pemilu Buat Apa

Mencermati dinamika politik termutakhir di negara kita tercinta, reuni dua pasang capres 2019 terwujud setelah pengumuman reshuffle kabinet. Maka ingatan kita akan diajak menengok kepada fenoma-fenomena dukungan capres dalam level garis keras full frontal yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini. Hubungan pertemanan, kerukunan antar tetangga, bahkan hubungan darah keluarga bisa remuk redam akibat perbedaan pilihan capres idola pada waktu itu. Masih segar dalam ingatan kita, laga persaingan dua capres telah melahirkan istilah c-bonk dan camfreto sebagai label dukungan kepada masing-masing capres yang selalu memanaskan situasi di dunia maya, disertai oleh bumbu-bumbu yang diolah para bajer politik. Sungguh sebuah periode yang begitu menguras hati dan perasaan rakyat negeri ini, hanya karena dukung-mendukung capres.

Hingga akhirnya, hari ini ketika pak pres mereunikan capres dan cawapres pesaingnya ke dalam kabinet, periode2 kelam pertempuran c-bonk dan camfreto seolah luluh lantak begitu saja tanpa arti. Apalah artinya 2019 lalu kita capek-capek menguras hati dan pikiran berdasarkan preferensi capres yang dipilih.

Mari kita renungkan kembali posisi kita sebgai rakyat, mendukung boleh tapi yang wajar-wajar saja, mencinta boleh tapi yang sedang-sedang saja. Tidak perlu termakan pancingan para bajer di dunia maya, tidak perlu sampai memutuskan pertamanan apalagi sampai memutuskan hubungan darah hanya demi dukungan ke alah satu pihak. Dari fenomena ini, seolah kita diingatkan kembali bahwa tidak ada kubu-kubuan yang abadi dalam politik (bisa digoogling sendiri nama-nama pihak yang berpindah posisi).

Saya mulai overthinking. Kalau semua pihak yang bersaing dalam pemilu (pilpres) bisa diakomodasi ke dalam jajaran eksekutif, mengapa kita masih harus memilih salah satu di antaranya? Saya mulai memikirkan, mengapa tidak kita akomodasi saja kearifan lokal bangsa kita, bermusyawarah. Jadi daripada menghabiskan anggaran sampai milyaran atau bahkan sampai trilyunan untuk biaya pemilu, kampanye, dll (yang memang sangat mahal sebagai konsekuensi pemilihan) mengapa tidak kita lakukan musyawarah untuk memilih pemimpin. Siapa yang jadi presiden, siapa yang jadi wakil presiden, siapa yang jadi menteri-menteri. Agar kualitasnya terjaga, bisa juga dibuat open recruitment berdasarkan CV dan track record kontestan. Ada target-target yang dirumuskan bersama oleh rakyat untuk setiap posisi. Kemudian rakyat menilai kinerja pejabat berdasarkan Key Perfomance Index (KPI) dari target-target yang sudah dirumuskan. *Halah, sudah-sudah ini hanya ilustrasi di sebuah dunia paralel.



Comments

Popular posts from this blog

Contoh Inheritance (Pewarisan) di Java

Review Singkat Pilihan Transportasi Umum Rute Solo - Wonosobo

Physical address dan Logical Address dalam Jaringan Komputer